Total Tayangan Halaman

Minggu, 25 Maret 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

PEMBAHASAN

A. PERIODE AWAL PERKEMBANGAN ISLAM
Periode ini meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW. Dan masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin. Periode awal perkembangan Islam ini dibedakan dari periode berikutnya dengan pertimbangan bahwa selama masa kekuasaan Nabi dan para penggantinya (khulafa’ al-Rasyidin), kekuasaan Islam masih berpusat di wilayah Arab. Dan mengingat nasa antara kehidupan Nabi SAW. Dan masa penggantinya relatif hanya sekitar 29 tahun (Nabi wafat tahun 632 M. Dan Ali RA. Wafat tahun 661 M). Jarak yang sesingkat itu khalalifat penggantinya tidak jauh berbeda.
Seperti diketahui dari latar belakang sejarah, bahwa Islam bukan diturunkan diwilayah terasing, melainkan diwilayah yang terletak pada lalu-lintas dagang yang m pelabuhan transito (penghubung) antara dua kekuatan adikusai yang dominan ketika itu, yakni Persia di Timur dan Romawi di Barat (Kuntowijoyo, 1991:332-333). Namun demikian, kondisi masyarakat Arab yang memiliki mobilitas yang tinggi itu secara sosial politik masih tergolong sebagai masyarakat yang relatif primitf (Ibid:333). Latar belakang kehidupan masyarakat nomaden masih merupakan ciri umum kehidupan masyarakat Arab sekitar kota Mekah dan Madinah. Dengan demikian kedatangan Islam membawa suatu revolusi besar dalam mengubah tatanan sosial politik dan sosial budaya. Masyarakat nomaden yang hidup berpuak-puak berubah menjadi masyarakat berpemerintahan, dan dari masyarakat penyembah berhala menjadi suatu ummah yang diikat suatu akidah yang sama. Masyarakat Arab dan latar belakang kehidupannya, setelah kedatangan Islam ternyata mampu menjadi masyarakat yang berperadaban.
Padahal sebelum kedatangan Islam masyarakat Arab adalah terdiri atas masyarakat pribumi yang buta aksara, meskipun kemampuan hafalan mereka rata-rata mengagumkan (Munir Mursyi:22). Waktu kedatangan Islam, menurut Ibn Khaldun baru ada 17 orang Quraisy yang pandai tulis baca, ditambah empat orang wanita. Ubaidah Ibn Jarrah, Thalhah Ibn Zubair, Yazid Ibn Abi Sufyan, Abu Huzaifah Ibn ‘Utbah, Khatib Ibn Amr, Abu Samah Ibn Abd al-Asad al-Mahzumi, Aban Ibn Sa’id Ibn Ash dan saudaranya Khalid, Khawaitib Ibn Abd al-‘Azy al-‘Amiry, Abu Sufyan Ibn Harb, Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, Juhaimah Ibn al-Shalah dan al-‘Alla’Ibn al-Hadhramy. Adapun yang perempuan adalah Hafsah Bint ‘Umar, ‘Aisyah hanya bisa baca tapi tak bisa menulis, demikian pula Ummu Salamah. (Munir Mursyi:21-22)
Pemikiran mengenai falsafat pendidikan pada periode awal ini merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat al-Quran dan hadits, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi Islam. Dengan kata lain, kata Hasan Langgulung, bahwa pemikiran pendidikan Islam dilihat dari segi al-Quran dan hadits, tidaklah muncul sebagai pemikiran yang terputus, terlepas hubungannya dengan masyarakat seperti tang digambarkan oleh Islam. Pemikiran itu berada dalam kerangka paradigma umum bagi masyarakat seperti yang dikehendaki oleh Islam. Dengan demikian pemikiran mengenai pendidikan yang kita lihat dalam al-Quran dan hadits mendapatkan nilai ilmiahnya (Hasan Langgulung, 1987:120).
Di periode kehidupan Rasul S.A.W. ini tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari al-Quran dan hadits secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Quran yang diteladani oleh masyarakat dari sikap dan perilaku hidup Nabi SAW.
Adapun falsafat pendidikan al-Quran itu sendiri menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly meliputi lima masalah utama. Kelima masalah tersebut, adalah: (1) tujuan pendidikan dalam al-Quran; (2) pandangan al_Quran terhadap manusia; (3) pandangan al-Quran terhadap pendidikan masyarakat; (4) pandangan al-Quran terhadap alam; dan (5) pandangan al-Quran terhadap Khalik. (Muhammad Fadhil al-Jamaly, 1981:1-21). Dan tujuan utamanya adalah membentuk sikap ketakwaan. Alam Ketakwaan, menurut Abdullah al-darraz merupakan kesimpulan semua nilai-nilai yang terdapat dalam al=Quran (Hasan Langgulung, Kajian, 1988:1989).
Nilai-nilai yang berhubungan dengan individu (perorangan) ini pada dasarnya Karena itu nilai-nilai ini didasarkan atas dorongan untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari berbuat jahat, secara lahir maupun batin. Jadi akhlak al-karimat bersifat aktif. Untuk melakukan suatu sifat keteladanan dari diri pribadi secara utuh. Dengan demikian pribadi yang yang diharapkan adalah pribadi teladan yang tidak mendatangkan kerugian dan malapetaka bagi diri, masyarakat dan lingkungannya. Hingga segala yang berkaitan dengan hal-hal itu termuat dalam paket nilai-nilai yang berhubungan dengan individu seperti larangan membunuh, berbuat zalim, berbuat sia-sia (mubazir), berbohong, nifaq, bakhil (kikir), sombong, dengki dan lainnya.
Memang wilayah kekuasaan Islam, sejak awal perkembangannya berada diantara dua kerajaan besar, yaitu Parsi dan Romawi Timur. Dan sejak zaman Rasul SAW. Pun upaya untuk mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan itu sudah dilakukan, terutama dalam kegiatan perdagangan. Namun demikian, dalam kaitannya dengan perkembangan Islam itu sendiri, kegiatan Rasul SAW.baru terbatas pada kegiatan dakwah”mengajak menyerukan”agar para pemimpin kerajaan tersebut menerima Islam. Usaha ini misalnya terlihat dari bukti surat-surat yang dikirimkan Rasul SAW. Kepada Kaisar Heraclius (Kaisar Romawi Timur), Muqauqis (Gubernur Romawi Timur di Mesir), Kisra (Raja Persia), al-Najasyi (Raja Ethiopia), al-Mundzir Ibn Sawi (Raja Bahrain), Hudzah Ibn Ali (Raja Yamamah), dan kepada al-Harits Ibn Abi Syammar (Gubernur Romawi di Syam), tetapi hal itu baru terbatas pada misi dakwah (Toha jahja Omar, 1967:93-107).
Di zaman pemerintahan khulafa’ al-Rasyidin pun, terutama semasa pemerintahan Umar Ibn Khattab, wilayah kekuasaan Islam sudah luas ke luar tanah Arab. Untuk itu diperlukan perangkat tertentu dalam pemerintahan seperti administrasi pemerintahan, sistem keuangan maupun pasukan khusus maupun yang menyangkut hubungan antar wilayah dengan pusat pemerintahan. Tetapi sejauh yang dapat diketahui, perubahan-perubahan yang terjadi belum terlalu banyak, karena perluasan wilayah masih terbatas pada kegiatan dakwah dan bukan dengan tujuan menjajah.[1][1]

B. PERIODE KLASIK.
Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa al-Rasyidin hingga awal masa imperialis barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga ke awal abad XIX.  Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pembagian.
Faktor pertama, sistem pemerintahan. Seperti diketahui, sistem pemerintahan periode Rasul dan para Khalifah yang empat berbeda dengan sistem pemerintahan di periode-periode sesudahnya. Yang jelas, memasuki era kekuasaan Bani Umayyah, sistem pemerintahan Islam lebih bersifat monarki absolut (kerajaan). Pengangkatan Khalifah sudah tidak didasarkan pada prinsip pemilihan dan petunjukkan atas dasar baiat, melainkan didasarkan keturunan. Sistem khalifah berganti menjadi sistem kerajaan (Maududi,1986:92). Adanya perubahan sistem dalam pemerintahan ini mempengaruhi pula berbagai perubahan yang menyangkut kepentingan kepemerintahan seperti kelembagaan, peristilahan dan lainnya. Untuk itu diperlukan perangkat khusus yang diperkirakan dapat menunjang penyaelengaraan sistem tersebut.
Faktor kedua, yaitu luas wilayah. Sejak periode pemerintahan Umar Ibn Khattab (634-644 M), wilayah kekuasaan Islam sudah meluas ke luar jazirah Arab hingga ke Mesir dan Irak. Tapi baru di zaman kekuasaan Bani Umayyah Timur (660-749 M.), pusat pemerintahan dipindahkan ke Damaskus. Dan dalam kelanjutan dinasti ini, kemudian ketika menguasai Andalusia (755-1031 M.) pusat pemerintahan berada di Granada. Selanjutnya, di Timur kekuasaan Bani Umayyah diambil alih oleh Bani Abbas (749-1258 M.) dengan ibukotanya Baghdad (Harun Nasution, 1992:955 dan 3).
Adapun faktor ketiga, yaitu kemajuan yang dicapai dalam berbagai bidang seperti politik, pemerintahan, ilmu pengetahuan, sastra, arsitektur dan ekonomi memungkinkan negera-negera Islam untuk mengembangkan diri. Berbagai kelembagaan didirikan sejarah dengan kebutuhan dan tuntutan kemajuan yang dicapai. Dan kelembagaan itu sendiri pada dasarnya lahir dari hasil pemikiran para ahli bidangnya, terutama yang berkaitan dengan pendidikan.
Kemudian faktor keempat, yaitu hubungan antar bangsa. Di zaman klasik ini, terutama melalui kekuasaan Bani Abbas di Baghdad, kerajaan Islam sudah menjadi negara adikuasai. Secara politis memang kerajaan-kerajaan Islam merupakan kerajaan besar. Selain itu wilayah kerajaan ini menjadi pusat peradaban dunia ketika itu. Di wilayah Timur Baghdad dikenal sebagai kota Metropolitan, pusat peradaban dunia di Timur. Dan status yang sama, untuk wilayah Barat (Eropa) diwakili oleh Granada di Andalusia.
Di zaman kekuasaan Bani Umayyah di Timur (Damaskus), ketika kestabilan politik tercapai, mereka mulai mengarahkan perhatian kepada kebudayaan, ilmu dan aspek-aspek peradaban yang mereka jumpai di wilayah taklukannya. Tapi tampaknya sikap fanatisme Arab dan agama menyebabkan kecenderungan Bani Umayyah untuk mempertahankan tradisi Arab dan Islam. Menurut Hasan Langgulung, kecenderungan tersebut dapat dilihat dari karya yang ada, yaitu:
1. kecenderungan para penguasa
Di zaman pemerintahan Bni Umayyah, pendidikan bagi keluarga khalifah dilakukan secara individual. Para pendidik khusus didatangkan ke istana khalifah untuk mendidik anak-anaknya. Baik kepada para pendidik dan kepada para anak-anaknya, dinasihatkan agar tetap berpegang kepada tradisi Arab dan Islam.
2. Karya ulama dan penulis –penulis tentang pendidikan juga mencerminkan pemikiran pendidikan yang berorientasi pada tradisi dan agama ini.
Kenyataan ini tampaknya mendorong Hasan Langgulung berkesimpulan pemikiran pendidikan di zaman Bani Umayyah dititik beratkan pada kelanjutan pemikiran pendidikan zaman Rasullulah SAW. Dan zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Bedanya, walaupun sikap fanatisme Arab dan peradaban tingginya, namun para penguasa Bani Umayyah kebanyakan bukanlah ahli ilmu dan agama. Dengan demikian, fanatik Arab dan Islam lebih mengarah pada agama (Hasan Langgulung, 1987:122).

1.  Ibn Qutaibah (213-276 H.)
Nama lengkap Ibn Qutaibah adalah Abu Muhammad Abdullah Ibn Muslim Qutaibah al-Dainuri. Ia dilahirkan di Kufah tahun 213 H. Dan meninggal dalam usia 63 tahun (276 H.).
Walaupun sebagai seorang keturunan Parsi, sebagian besar usianya dihabiskan di Baghdad. Di kota ini ia belajar berbagai disiplin ilmu dari sejumlah ulama terkemuka di zamannya seperti Abu al-Fadl al-Rayyani, Ishaq Ibn Rahawiyah al-Mahruzi al-Nasaiburi dan Abu Hatim. Menurut Imam Sayuti, Ibn Qutaibah dikenal sebagai seorang ilmuan dalam bahasa Arab dan sejarah. Selain itu ia dikenal sebagai ilmuwan yang produktif.

2.  Abu Sa’id Sahnun dan Muhammad Ibn Sahnun
Abu Sa’id Sahnun Ibn Habib al-Tanubi lahir di kairawan sekitar tahun 160 H. Kemudian menuntut ilmu di Mesir, Hijaz dan Syam. Karya ilmuwan ini dibidang pendidikan kurang dikenal. Tetapi ilmuwan yang kemudian lebih dikenal adalah Muhammad Ibn Sahnun al- Tanubi yang juga berasal dari Kairawan. Muhammad Ibn Sahnun lahir tahun 202 H. Ia merupakan pemikir yang mempelopori pembaharuan pendidikan di zaman keemasan Islam.
Muhammad Ibn Sahnun adalah pencetus pemi\kiran pendidikan yang lepas dari keterkaitannya dengan sastra dan mashab-mashab pemikiran falsafat. Disini terlihat Ibn Sahnun mulai menampak kepemikiran pendidikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri. Buku karanganya mengenai pendidikan berjudul Adab al-Mu’allimin merupakan pembahasan tentang pendidikan pertama kali yang dipisah dari hubungan integralnya dengan ilmu-ilmu keislaman, seperti halnya hasil karya ilmuwan muslim pendahulunya. Dengan demikian muhammad Ibn Sahnun dapat digolongkan menjadi pencetus pemikiran kependidikan islam di zaman klasik.
3. Ibn Masarrah (269-319)
            Muhammad Ibn Abdillah Ibn Masarrah al-Jabali adalah seorang Muslim Andalusia (spanyol). Ia dilahirkan di Cordova pada tahun 269 H. (883 M), dan meninggal ditempat perkampungan (komunitas Sufi atau Zawiyah) dekat Cordova tahun 319/931 M. Ibn Masarrah dingenal sebagai seorang sufi dan filosof Muslim pertama dibelahan wilayah Islam barat. Namun demikian Ibn masarrah juga menulis pemikirannya mengenai pendidikan dalam bukunya berjudul kitab al-Tabsirat (Buku pengajaran), dan kitab al-Huruf (Lambang-lambang huruf).
            Dalam pemikiran falsafatnya, Ibn masarrah juga menguraikan tentang sifat-sifat  jiwa manusia. Ia berpendapat bahwa secara individual, jiwa manusia merupakan pancaran dari jiwa universal (al-Nafs). Keberadaan jiwa dalam tubuh manusia dikiaskannya sebagai terkungkung  itu, manusia harus membersihkan dirinya secara sepiritual, denga cara mendekatkan diri kepada Tuhan.

4. Ibn Maskawaih (330-421 H.)
            Abu ali Ibn maskawaih dilahirkan di Ray tahun 330 H/940 M. Karya tulis Ibn maskawaih seluruhnya berjumlah 18 judul, dan kebanyakan berhubungan dengan masak kejiwaan dan akhlak. Slah satu dari karya Ibn Maskawaih yang memuat pemikiran pendidikannya adalah termuat dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq (pendidikan Akhlak). Ia juga berpendapat bahwa penulisan sejarah harus didasarkan atas kajian yang bersifat ilmiah dan filosofis.
            Menurut pandanganya, manusia adalah makhluk yang memiliki keistemewaan dari kenyataannya manusia memiliki daya pikir. Berdasarkan daya pikir itu pula manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta yang baik dan yang buruk. Dan manusia yang paling sempurna kemanusiannya adalah mereka yang paling benar berfikirnya serta yang paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu ia berpendapat bahwa untuk menunjukkan kebaikan manusia harus membina kerjasama. Usaha untuk melakukan kebaikan merupakan indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri.
5. Ibn Sina (370-428 H.)
            Abu Ali al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 H/980 M). Ia dianggap sebagai orang yang cerdas, karen adiusia yang sangat muda (17 tahun) Ibn Sina telah dikenal sebagao filosof dan dokter termuka di Bukhara, selain itu Ibn Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali sebagai seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi waris ( menteri)
            Sebagi ilmuwan Ibn sina telah berhasil mennyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah al-Syifa’ berupa ensiklopodi tentang fisika, matematika, logika dan matematika. Kemudian al-Qanun al-Tibb adalah sebuah ensiklopodi kedokteran

6. Al-Gazali (450/1058-505/1111 M.)
            Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Gazali dilahirkan di Thusia di daerah Khurasan (persia), tahun 450H/1058 M. Sejak kecil, al-Gazali dikenal sebagai anak yang sngat senang dengan ilmu pengatahua. Jadi tak mengherankan sejak masa kanak-kanak ia telah belajar kepada sejumlah guru di kota kelahiranya, antara lain Ahmad Ibn muhammad al-Radzikani. Selain itu juga tak segan-segan ia belajar kepada guru yang jauh dari kota kelahirannya. Diantara guru yang terkenal yang pernah jadi gurunya ialah Imam al Juwaini (Imam al-Haramain), sewaktu al_Gazali menuntut ilmu di Nausabur.
            Melihat kemampuan dan kecerdasan al-Gazali, al-Juwaini memberinya gelar “bahrun mughriq” (laut yang menenggelamkan).Al-Gazali baru meninggalkan Naisabur setelah Imam al-Juwaini meninggal dunia tahun 1085 M.(478 H.) Dari Naisabur al-Gazali menuju baghdad dan menjadi guru besar di universitas yang didirikan Nidham al-Mulk seorang Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai guru besar, ternyata al-Gazali yang kreatif ini sempat mengarang sejumlah buku ilmu pengetahuan, antara lain Al-Basith,Al-Wajiz.Khulashah Ilmi Fiqh, Al-Munqil fi Ilm Al-Jadal, Ma’khaz Al-Kalaf, Lubab Al-Nadzar, Tahsin Al-Ma’akhidz dan Mamadi’ wa Al-Ghayat fi Fan Al-Khalaf.
            Menurut pandangan al-Gazali,ilmu dapat dilihat dari kedua segi,yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, al-Gazali membagi ilmu menjadi ilmu hissiyah,ilmu aqliyah dan ilmu ladunni.Ilmu hissiyah diperoleh manusia melalui penginderaan (alat dria),sedangkan ilmu aqliyah diperoleh melalui kegiatan berpikir (akal).Sedangkan ilmu ladunni diperoleh langsung dari Allah,tanpa melalui proses penginderaan atau pemikiran (nalar),melainkan melalui hati (Hasan Langgulung, 1986:132),dalam bentuk ilham.
            Kemudian ilmu juga dapat dikatakan sebagai obyek, yaitu apanya. Menurut pandangan al-Gazali, ilmu sebagai obyek dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak seperti sihir,azimat,nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.Ilmu ini tercela karena tidak memiliki nilai manfaat,di dunia maupun di akhirat.
Ilmu pengetahuan yang terpuji,baik sedikit maupun banyak,namun kalau banyak lebih terpuji,seperti ilmu agama dan ilmu tentang beribadat. Ilmu pengetahuan seperti itu terpuji secara mutlak karena dapat melepaskan manusia (yang memepelajarinya) dari perbuatan tercela, menyucikan diri,membantu manusia mengetahui kebaikan dan mengerjakan nya,memberitahu manusia ke jalan dan usaha mendekatkan diri kepada Allah dalam mencari rida-Nya guna mempersiapkan dunia untuk kehidupan akhirat yang kekal.
Ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji,tetapi jika memperdalaminya tercela,separti ilmu ketuhanan, cabang ilmu filsafat dan sebagian dari filsafat Naturalisme. Menurut al-Gazali, ilmu-ilmu tersebut jika diperdalam akan menimbulkan kekacauan pikiran dan keraguan,dan akhirnya cenderung mendorong manusia kepada kufur dan ingkar.
Selanjutnya al-Gazali memperinci pembagian ilmu pengetahuan berdasarkan pembidangan (spesialisasi) menjadi dua bidang, yaitu:
Ilmu Syari’at sebagai ilmu yang terpuji,terdiri atas:
  • Ilmu Ushul (ilmu pokok): Ilmu al-Quran, Sunnah Nabi, pendapat-pendapat Sahabat dan Ijma’.
  • Ilmu Furu’ (cabang) : Fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
  • Ilmu Pengantar (mukaddimah): Ilmu bahasa dan gramatika.
  • Ilmu Pelengkap(mutammimah): Ilmu Qira’at,Mukharij al-Hurufwa al-Alfadz,ilmu Tafsir,Nasikh dan Mansukh,lafaz umum dan khusus, lafas nash dan zahir serta biografi dan sejarah perjuangan sahabat. (al-Gazali:15-16).
Ilmu bukan Syariah terdiri atas:
Ilmu yang terpuji:ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu perusahaan. Khusus mengenai ilmu perusahaan dirinci menjadi:
Pokok dan utama: pertanian, pertenunan, pembangunan dan tata pemerintahan.
Penunjang: pertukangan besi dan industri sandang.
Pelengkap:pengolahan pangan (pembuatan roti), pertenunan (jahit-menjahit).
Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan): kebudayaan; sastra, sejarah dan puisi.
Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu darin filsafat.

C. PERIODE MODERN
            Merujuk kepada pembagian priodisasi sejarah Islam yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. Menjelang periode modern ini, setelah Bani Abbas dan Bani Ummayah secara politik dapat dilumpuhkan, kekuasaan islam masih dapat dipertahankan. Tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Turki Utsmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), Kerajaan Safawi (Persia) dan kerajaan Mughol (India) masih memegang hegemoni kekuasaan Islam. Namun menjelang abad ke-17 dan awal abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam tersebut, satu persatu dapat dikuasai bangsa-bangsa Eropa (Barat).
            Sebagai gambaran tentang dunia Islam di zaman itu dikemukakan oleh Harun Nasution : “dimasa ini kekuatan militer dan politik umat islam menurun. Dengna hilangnya monopoli perdagangan antara timur dan barat, perekonomian kerajan-kerajaan Islam jatuh. Ilmu pengetahuan di dunia islam mengalami stagnasi diisi oleh berbagai aliran tarikat yang cenderung bersifat khurafat dan supersitisi. Hal ini membawa masyarakat di dunia islam ke sikap fatalis. Dan akhirnya dunia islam mengalami kemunduran dan statis.” (Harun Nasution, 1978:88).

1.      Rifa’at Badawi Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873)
            Al-Thahthawi seorang pemikir pendidikan Mesir, yang dilahirkan dikota Thahtha (Mesir bagian selatan) tahun 1801. Ayahnya masih mempunyai hubungungan keturunan Husein cucu Muhammad SAW. (Muhammad Munir Mursyi, 1982:385). Sebagai anak yang cemerlang, al-Thahthawi kemudian berhasil menamatkan pelajarannya di al-Azhar. Dan setelah tamat berturut-turut iamengembangkan karir kependidikannya sebagai tenaga pengajar di al-Azhar, dan tahun 1824 menjadi iman tentara. (Harun Nasution; 1975:43). Kedudukannya sebagai iman tentara ini pula kemudian yang membawa ia untuk belajar diperancis atas biaya Muhammad Ali yang menjadi Pasya di Mesir ketika itu.
            Selama belajar di perancis al-Thahthawi berusaha melengkapi wawasan ilmiahnya dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan seoerti sejarah, teknik, ilmu bumi, politik dan lain-lain. Selain itu ia juga sempat menerjemahkan sebanyak 12 buku dan risalah, antara lain risalah tentang sejarah Alexander Macedonia, buku-buku mengenai pertambangan, mengenai akhlak dan adat istiadat berbagai bangsa, mengenai ilmu bumi, risalah mengenai teknik, mengenai hak-hak manusia, tentang kesehatan dan sebagainya.
            Adapun ide-ide dan pemikiran kependidikannya ia tulis dalam buku al-Mursyid al-Amin fi Tarbiyat al-Banin (pedoman tentang pendidikan anak). Di dalam bku ini dapat dilihat tentang pemikiran Thahthawi. Ia menulis ide-idenya mengenai pendidikan meliputi:
Pembagian jenjang pendidikan atas tingkat permulaan, menengan dan pendidikan tinggi sebagai pendidikan akhir.(Muhammad Munir Mursi:289-290).
Pendidikan diperlukan,karena pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan(Haru Nasution:47).
Pendidikan mesti dalaksanakan dan diperuntukkan bagi segala golongan (Harun Nasution:47). Makanya tidak ada perbedaan antara pendidikan untuk  anak laki-laki dan anak perempuan (Ibid:48). Pemikiran mengenai persamaan antara laki-laki dan pendidikan anak perempuan ini dinilai sebagai mencontoh ide pemikiran Yunani (Muhammad Munir Mursi:288).

  1. Muhammad Abduh (1849-1905)
            Muhammad Abduh dilahirkan tahun 1849 (1266 H.) di salah satu desa di Delta Mesir bagian hilir. Ayahnya adalah seorang petani keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir, dan ibunya keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan suku Arab asal keturunan khalifah Umar Ibn Khattab.
            Muhammad Abduh sejak kecil sudah diketahui sebagai anak yang memiliki timgkat kecerdasan yang tinggi. Di usia kanak-kanak ia telah mampu menghafal al-Quran dalam waktu hanya dua tahun (Harun Nasution, 1982:58). Selanjutnya ia dikirim ke masjid al-Ahmady selama dua tahun untuk mempelajari bahasa Arab,nahu dan berbagai pengetahuan kebahasaan. Dan ternyata metode taqlidiyat(verbalisme)yang digunakan ketike itu(Abdullah Mahmud Syihah, 1967:7)tidak memuaskan keinginan Muhammad Abduh, hingga ia meninggalkan perguruan tersebut.
            Menyadari akan potensi yang dimiliki akan Muhammad Abduh, maka pamannya Syekh Darwis berusaha membimbing nya. Dan atas saran serta ketekunan Syekh Darwis, akhirnya Muhammad Abduh bersedia melanjutkan pelajarannya ke kota Thanta tahun 1865 (T. Tanahi dan Hurun Nasution:59). Kemudian ia melanjutkan pelajaran di al-Azhar, dan menamatkan pelajarannya tahun 1877. Di sinilah ia memperoleh pengalaman yang paling berkesan dari gurunya Syekh Hasan al-Thawil dan Syekh Muhammad al-Basyuni, masing-masing sebagai guru manthiq dan balaghah. Dan selain itu Muhammad Abduh sempat pula berkenalan dan sekaligus menjadi murid Jamal al-Din al-Afghani. Dari tokoh ini ia mempelajari filsafat. Dengan demikian kemampuan intelektual Muhammad Abduh kian tampak, hingga memungkinkan ia giat menulis di harian al-Ahram sejak awal didirikan (Harun Nasution:61).

  1. Isma’il Raj’i al-Faruqi (1921-1986)
            Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) pada 1 Januari 1921. Latar belakang pendidikan al-Faruqi adalah pendidikan Barat. Pendidikan awalnya di College des Feres yang ia selesaikan tahun 1936. Kemudian sarjana mudanya di Amerika University ditamatkannya tahun 1941. Adapun gelar Masterbya dari Indiana University serta Harvard University dalam bidang filsafat. Kemudian gelar dokter diperolehnya dari Indiana University. Selanjutnya selama empat tahun ia menekuni studi keislaman di Univesitas al_Azhar (kairo).
Karir kepegawaian al-Faruqi diawali dari pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Kemudian menjadi Gubernur terakhir Propinsi Galilee(yang tahun 1947 direbut Israel). Hal ini pula yang kemudian mendorong  al-Faruqi hijrah ke Amerika untuk melanjutkan studinya.
Adapun karir akademik al-Faruqi diawali sebagai dosen di McGill University (Kanada) tahun 1959. Selama menjadi dosen, ia menyempatkan diri untuk mendalami Judaisme dan Kristen.Tahun 1961, ia pindah ke Karachi, bergabung dengan Central Institute for Islamic Research, dan tahun 1963 ia kembali ke Amerika mengajar di Fakultas Agama pada University of Chicago.
Setelah mendirikan program pengkajian Islam di University Syracuse(New York) dan pindah ke Temple University(Philadelphia) ia tetap  memantapkan karirnya sebagai tenaga ahli dalam pengkajian islam. Di Syracuse Univeysity  tempat ia menekuni Pusat Kajian Islam yang ia dirikan ini pula Isma’il Raj’i al-Faruqi mengakhiri karirnya. Tahun 1986 ia meninggal dunia sebagai korban pembunuhan.
Sebagai ilmuwan, al-Faruqi dikenal cukup produktif . Ia telah menulis sekitar 20 buku dan 100 artikel. Melalui tulisan itu pula pemikiran al-Faruqi tersebar luas ke negara-nagara Islam di seluruh dunia. Di antara buku-bukunya yang pentimg adalah Christian Ethics, An Historical Atlas of  Religions of  The World, Trialogue of Abrahamic Faith, dan The Cultural Atlas of  Islam (Ensiklopedi:242-243). [2][2]
           
























PENUTUP
KESIMPULAN
Sejarah perkembangan filsafat pendidikan islam, periode ini meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW. Dan masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin. Periode awal perkembangan Islam ini dibedakan dari periode berikutnya dengan pertimbangan bahwa selama masa kekuasaan Nabi dan para penggantinya (khulafa’ al-Rasyidin), kekuasaan Islam masih berpusat di wilayah Arab. Dan mengingat nasa antara kehidupan Nabi SAW. Dan masa penggantinya relatif hanya sekitar 29 tahun (Nabi wafat tahun 632 M. Dan Ali RA. Wafat tahun 661 M). Jarak yang sesingkat itu khalalifat penggantinya tidak jauh berbeda.
Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan khulafa al-Rasyidin hingga awal masa imperialis barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga ke awal abad XIX.  Beberapa pertimbangan yang dijadikan dasar pembagian.
Prof. Dr. Harun Nasution, bahwa periode modern dimulai sejak tahun 1800 M. Menjelang periode modern ini, setelah Bani Abbas dan Bani Ummayah secara politik dapat dilumpuhkan, kekuasaan islam masih dapat dipertahankan. Tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Turki Utsmani (Eropa Timur dan Asia-Afrika), Kerajaan Safawi (Persia) dan kerajaan Mughol (India) masih memegang hegemoni kekuasaan Islam. Namun menjelang abad ke-17 dan awal abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam tersebut, satu persatu dapat dikuasai bangsa-bangsa Eropa (Barat).[3][3]









DAFTAR PUSTAKA
  • Dr. Jalaluddin & Drs. Usman Said, filsafat pendidikan islam konsep dan perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers.1996
  • Zuhairini. Dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1995






























 





[1][1] Zuhairini. Dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1995
[2][2] Dr. Jalaluddin & Drs. Usman Said, filsafat pendidikan islam konsep dan perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers.1996
[3][3] Ibid